MAKALAH
Sejarah
Kodifikasi Al-Qur’an
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Nur Alfi Khotamin
Disusun
oleh :
Rizki
Oktaviani NPM : 181130064
Satria
Ilham NPM : 1811300
Program
Study :
Perbankan Syariah
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM MA’ARIF
TAHUN
2018/2019
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, taufik , dan hidayah-Nya, sehingga dapat tercipta sebuah makalah guna memenuhi tugas mata kuliah pengantar
bisnis
Makalah ini takkan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Ibu Nur Alfi selaku dosen mata kuliah Pengantar Bisnis
2.
Orang tua saya
yang telah memberi motivasi, serta memfasilitasi dalam berjalannya penyusunan
makalah ini, dan tentunya yang selalu mendo’akan demi kesuksesan anaknya ini.
3.
Seluruh
rekan-rekan yang telah membantu, memotivasi dalam penyusunan makalah ini
Dalam makalah ini Kami bermaksud menuturkan materi
yang akan dikaji dalam kegiatan belajar mengajar. Makalah ini bukanlah
makalah yang sempurna, jadi tidak lepas dari sebuah kesalahan. Oleh karena itu,
Kami memohon kritik dan saran yang dapat membangun untuk masa yang akan
datang.
Metro, 5 oktober 2018
(Rizki
Oktaviani)
Daftar Isi
Kata
Pengantar ......................................................................................................... i
BAB I
Pendahuluan 1
1.1 Latar
Belakang 1
1.2 Rumusan
Masalah 2
1.3 Tujuan
Penulisan 2
BAB II
Kajian Teoritik
2.1
Al-Qur;an Menurut Ensiklopedia........................................................................ 2
BAB III
Pembahasan
3.1 Pengertian
Al-Qur’an .................................................................................... 3
3.2 Sejarah
Turunnya Al-Qur’an ........................................................................... 3
3.3 Kodifikasi Al-Qur’an dan
Perkembangannya....................................................... 4
BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan 11
4.2 Kritik Dan Saran ........................................................................................... 12
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Islam mempercayai
bahwa Al-Qur’an adalah puncak penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.
Pengertian Al-Qur’an
jika ditinjau dari segi kebahasaan berasal dari Bahasa Arab yang artinya “
bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”.
Konsep pemakaian kata
Al-Qur’an dijumpai pada salah satu Surat Al-Qur’an sendiri yakni pada Surat Al-Qiyaamah
ayat 17 dan 18 yang artinya:“Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (didalam dadamu) dan(menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti (amalkan).”
Kemurnian kitab suci
Al-Qur’an dijamin langsung oleh Allah yaitu Dzat yang menciptakan dan
menurunkan Al-Qur’an itu sendiri yang termaktub di dalam firman-Nya yaitu Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat
9 yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Dan
kenyataannya kita bias melihat Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang mudah
dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
Al-Qur’an tidak turun
sekaligus melainkan turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22
hari. Para ulama membagi masa turunnya
Al-Qur’an menjadi dua periode, yaitu periode Makah dan Madinah. Pada
perjalanannya Al-Qur’an mengalami penulisan (pencatatan
dalam bentuk teks). Penulisan Al-Qur’an
sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW berlanjut sampai kepada zaman pemerintahan
Khalifah Abu Bakar dan pada zaman
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan
selain Abu Bakar dan Utsman bin Affan tidak terjadi perkembangan yang
signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an. Kodifikasi Al-Qur’an yang
terjadi pada masa Abu Bakar dan pada masa Utsman bin Affan terdapat perbedaan
penyebab adanya kodifikasi dan hasil dari kodifikasi yang nanti akan dibahas
perbandingan antara kedua Khalifah tersebut . Transformasi menjadi teks yang
seperti Al-Qur’an sekarang ini dilakukan pada zaman Utsman bin Affan yang juga
disebut Mushaf Utsmani.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan di atas diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian alqur’an ?
2.
Bagaimana cara cara
pengumpulan alqur’an ?
3.
Bagaimana proses penyusunan
alqur’an ?
4.
Apa perbedaan penyusunan
pada masa Khalifah Abu Bakar dan masa Khalifah Ustman Bin Affan (Mushaf Ustmani)
C. Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini
penulis bertujuan untuk membagi sedikit pengetahuan kepada pembaca mengenai
hal-hal yang menyangkut Al-Quran atau ulumul Qur’an diantaranya, di harapkan
agar pembaca mengetahui tentang pengertian Al-Quran secara khusus maupun umum,
menjelaskan bagaimana cara pengumpulan dan penyusunan al-Quran, siapa saja yang
mempunyai peranaan dalam pengumpulan dan penyusunan alquran serta di harapkan
pembaca memahami beberapa teori Al-Quran
yang akan di jabarkan dalam bab III dalam makalah ini.
BAB II
KAJIAN TEORIK
Al-qur’an menurut ensiklopedia
Al-Qur'an (/kɔːrˈɑːn/[a] kor-ahn; Arab: القرآن al-Qurʾān,[b]; Alquran [c] secara
harfiah berarti "bacaan"; juga diromanisasikan sebagai Qur'an atau Koran)
adalah sebuah kitab suci utama dalam agama Islam,
yang umat Muslim percaya bahwa kitab ini diturunkan oleh Tuhan, (Arab: الله, yakni Allah)
kepada Nabi Muhammad
[5] Kitab ini terbagi ke dalam beberapa bab
(dalam bahasa Arab disebut "surah")
dan setiap surahnya terbagi ke dalam beberapa sajak (ayat).

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an.
“Qur’an” menurut bahasa
berarti “bacaan”. Definisi Al-Qur’an adalah: “Kalam Allah SWT yang merupakan
mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya
merupakan ibadah. Doktor Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai Kalam
Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
ditulis di Mushaf serta diriwayatkan dengan mutawir, membacanya termasuk
ibadah. Adapun Muhammad Ali Ash-Shabuni mendefinisikan A;-Qur’an sebagai Firman
Allah yang tiada tandingannya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para
Nabi dan Rasul, dengan perantara Malaikat Jibril a.s yang ditulis pada
mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawir, serta
membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan Surat
Al-Fatihah dan di akhiri dengan Surat An-Nas.
Dengan definisi tersebut
di atas sebagaimana dipercaya Muslim, Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
selain Nabi Muhammad, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa a.s atau Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s.
demikian juga Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
membacanya dan mempelajarinya tidak
sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Kemurnian Kitab Al-Qur’an
dijamin langsung oleh Allah SWT, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan
Al-Qur’an itu sendiri. Dan pada kenyataannya
kita bisa melihat, Al-Qur’an
merupakan satu-satunya kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh
beribu-ribu Umat Islam di dunia. Ini termaktub dalam Firman Allah Qur’an Surat
Al-Hijr ayat 9 yang artinya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) dan Kamilah yang
akan menjaganya”
B. Sejarah Turunnya
Al-Qur’an.
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun
secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama
membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan
periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada
waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang
dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10
tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini
disebut surat Madaniyah.
Nabi Muhammad SAW dalam menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara
dan keadaan diantaranya:
1.
Malaikat memasukkan wahyu ke
dalam hatinya.
2.
Malaikat menampakkan dirinya
kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya
sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
3.
Wahyu datang kepadanya seperti
gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang dirasa paling berat oleh Nabi.
4.
Malaikat menampakkan dirinya
kepada Nabi bukan seperti yang disebutkan pada no. 2 di atas, melainkan
menampakkan dengan wujud aslinya. Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an Surat
An-Najm ayat 13 dan 14 yang artinya: “Sesungguhnya
Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika (Ia berada) di
Sidratulmuntaha”.
C. Kodifikasi Al-Qur’an dan Perkembangannya.
1. Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks)
Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya
menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup,
terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Ubay bin Kaab.
Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak
diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang. Disamping
itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
2. Kodifikasi Al-Qur’an Pada masa Kholifah Abu
Bakar.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW para sahabat baik
dari kalangan Anshar ataupun Muhajirin sepakat untuk mengangkat Abu Bakar
sebagai Khalifah untuk menggantikan Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahan Abu
Bakar terjadilah Jam’ul Qur’an yaitu pengumpulan naskah atau manuskrip
Al-Qur’an yang susunan surat-suratnya menurut riwayat masih berdasarkan pada
turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul). Diriwayatkan sebab-sebab dikumpulkannya
Al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah gugurnya para sahabat
penghafal Al-Qur’an pada perang Yamamah. Perang Yamamah adalah perang terjadi
untuk menumpas orang-orang murtad dan mengaku sebagai Nabi. Tentara Islam yang
ikut dalam peperangan itu kebanyakan adalah para sahabat yang hafal Al-Qur’an.
Dalam peperangan itu banyak sahabat yang
gugur, dan diperkirakan sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur sebanyak 70 orang,
bahkan pada peperangan sebelumnya juga
telah gugur para sahabat penghafal Al-Qur’an hampir menyamai dari jumlah itu,
yaitu perang di dekat sumur Ma’unah dekat kota Madinah pada masa Nabi Muhammad
SAW.
Umar bin Khatab khawatir hal serupa yang dialami
para sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur akan menimpa para sahabat penghafal
Al-Qur’an yang saat itu masih hidup. Lalu Umar bin Khatab menghadap Abu bakar
dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak
khususnya dari kalangan penghafal Al-Qur’an. Umar bin Khatab meminta agar Abu
Bakar memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an. Tapi Abu bakar tidak langsung
bersedia menerima permintaan dari Umar bin Khatab. Abu Bakar awalnya menolak
karena menuruta Abu Bakar Nabi tidak
pernah melakukan hal semacam itu. Umar bin Khatab tetap memaksa agar
pengumpulan Al-Qur’an tetap
dilaksanakan. Umar bin Khatab mengatakan kepada Abu Bakar bahwa mengumpulkan
Al-Qur’an itu adalah perbuatan yang sangat mulia. Dengan ijin Allah hati Abu
Bakar terbuka dan menyetujui usul dari Umar bin Khatab untuk mengumpulkan
Al-Qur’an.
Abu Bakar memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk
melaksanakan tugas yaitu memeriksa, meneliti, dan mengumpulkan Al-Qur’an. Abu
Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit dengan alasan bahwa Zaid bin Tsabit adalah
pemuda yang cerdas dan pintar. Selain pintar dan cerdas Zaid bin Tasabit juga selalu
menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk Nabi Muhammad SAW. Dia juga hafal Al-Qur’an.
Seperti halnya Abu Bakar ketika pertama kali
mendapat usul dari Umar bin Khatab Zaid awalnya juga tidak langsung
melaksanakan tugas yang diamanatkan kepadanya
itu. Tugas mengumpulkan Al-Qur’an
menurutnya sangat berat, bahkan lebih berat dari pada memindahkan
gunung. Dia menanyakan kepada Abu Bakar
mengapa harus mengumpulkan Al-Qur’an padahal pekerjaan seperti itu tidak pernah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar mengatakan pada Zaid bin Tsabit
bahwa mengumpulkan Al-Qur’an itu
adalah perbuatan yang mulia, seperti jawaban Umar bin Khatab ketika menjawab
pertanyaan dari dirinya. Zaid akhirnya juga melaksanakan tugas yang diamanatkan
kepadanya itu.
Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Qur’an dari
daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan juga dari
hafalan-hafalan para sahabat. Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti sekalipun
ia hafal Al-Qur’an seluruhnya tetapi untuk kepentingan pengumpulan Al-Qur’an
yang sangat penting bagi Umat Islam itu,
masih memandang perlu mencocokan hafalan atau catatan dari sahabat-sahabat yang
lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
Dengan demikian Al-Qur’an seluruhnya telah
ditulis Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran dan diikatnya dengan benang
tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana telah ditetapkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Kemudian Al-Qur’an hasil pengumpulan itu diserahkan kepada Abu
Bakar.
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu
Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan
oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut
disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama
Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh
terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an
menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah
Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas
peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : “ Orang yang paling berjasa
terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah
yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang
pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf.”
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an
sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma’qil pada tahun 12 H lewat
perkataannya yaitu : “Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau
manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF”, dari
perkataan Salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan
naskah-naskah Al-Qur’an yang telah dikumpulkannya sebagai Al-Mushaf as Syarif
(kumpulan naskah yang mulya).
Dalam Al-Qur’an sendiri kata Suhuf (naskah ; jama’nya Sahaif)
tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al-Bayyinah (98):2 “ Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang
membacakan beberapa lembaran suci. (Al Quran)”
Pada masa pemerintahan Umar bin Khatab tidak
terjadi perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an
seperti yang dilakukan pada masa Abu Bakar. Pada masa pemerintahan Umar bin
Khatab melanjutkan apa yang telah dicapai oleh pemerintahan sebelumnya, yaitu
mengemban misi untuk menyebarkan Islam dan mensosialisasikan sumber utama
ajarannya yaitu Al-Qur’an pada
wilayah-wilayah Daulah Islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim
para sahabat yang kredebilitas serta kapasitas ke-Al-Qur’an an-nya bisa dipertanggung
jawabkan. Sesudah Umar Wafat , Mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah Puteri
Umar bin Khatab yang juga istri Nabi
Muhammad SAW.
3. Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa
Khalifah Utsman bin Affan.
Dimasa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan,
mengalami perluasan wilayah pemerintahannya telah sampai ke Armenia dan Azarbaizan di sebelah timur, dan Tripoli di sebelah barat.
Dengan demikian kaum Muslimin telah berpencar sampai ke Mesir,Syiria, Irak , Persia ,
dan Afrika.
Kemana orang-orang Muslim pergi dan di manapun
mereka tinggal Al-Qur’an tetap menjadi imam mereka dan diantara mereka banyak
yang menghafal Al-Qur’an. Mereka juga mempunyai naskah-naskah dari Al-Qur’an
akan tetapi naskah-naskah yang mereka punyai tidak sama susunan surat-suratnya.
Begitu juga ada didapat diantara mereka
pertikaian tentang bacaan itu, asal mula pertikaiannya ini adalah karena Nabi
Muhammad SAW memberi kelonggaran pada kabilah-kabilah Arab yang ada di
masanya.Untuk membaca dan melafalkan Al-Qur’an itu menurut bahasa mereka masing-masing,
kelonggaran ini diberi oleh Nabi Muhammad SAW supaya Al-Qur’an mudah dihafalkan
oleh para kabilah-kabilah tersebut.
Tetapi fenomena ini ditangkap dan ditanggapi
secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang
pasukan Muslim yang bernama Huzaifah bin Yaman. Ketika Huzaifah bin Yaman ikut
dalam pertempuran menakhlukkan Armenia
dan Azerbaizan (dulu termasuk dalam Uni Soviet) maka selama dalam perjalanan
perang, dia pernah mendengar pertikaian Kaum Muslimin tentang bacaan Ayat
Al-Qur’an dan dia pernah mendengar perkataan seorang Muslim kepada temannya
bahwa “bacaanku lebih baik dari bacaan-bacaanmu.”
Keadaan ini mengagetkan Huzaifah bin Yaman, maka
pada waktu dia kembali ke Madinah Huzaifah bin Yaman segera menghadap Utsman bin
Affan dan menyampaikan kepadanya atas kejadian-kejadian yang terjadi dimana
terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah keperselisihan.
Lalu Utsman bin Affan meminta Hafsah bin Umar
meminjamkan Mushaf-Mushaf yang dimilikinya yang ditulis pada masa Khalifah Abu
Bakar yang dulu untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Utsman bin
Affan, yang aggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit,
sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash dan Abdur Rahman bin Haris
bin Hisyam.
Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an,
yakni menyalin dari lembaran-lembaran yang tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman bin Affan
menasihatkan supaya :
a. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang
hafal Al-Qur’an.
b. Kalau ada pertikaian antara mereka tentang
bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan menurut dialek Suku Quraisy, sebab
Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Kodifilkasi dan penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an
ini terjadi pada tahun 25 H. Setelah panitia selesai selesai menyalin Mushaf,
Mushaf Abu Bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Utsman bin Affan
memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an
selain Mushaf salinannya yang berjumlah enam Mushaf. Mushaf hasil salinan
tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam, dan
Yaman. Utsman menyimpan satu Mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan
dikenal sebagai Mushaf Al-Imam.
Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam
perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam
baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang
telah berjasa mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia
yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath
tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
Manfaat kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan antara lain:
a.
Menyatukan Kaum Musliminn
pada satu macam Mushaf yang seragam tulisan dan ejaannya.
b.
Menyatukan bacaan, meskipun masih ada berlainan bacaan, tetapi bacaan itu
tidak berlawanan dengan Mushaf-Mushaf Utsman.
c.
Menyatukan tertib susunan
Surat-Surat menurut urutan seperti Mushaf sekarang.
Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil
panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin
Affan. Mushaf pertama
ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada
tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan
Umat Islam dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin
memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai
tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk
Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar
Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara
di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di
kota Istambul
Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya.
Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir
di semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai
bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga
memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama
Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda
titik.
Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat
tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong
Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu
ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru
masuk Islam membaca kasrah pada kata ‘Warasuulihi’ yang seharusnya dibaca
‘Warasuuluhu’ yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak
makna.
Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang
berwarna merah untuk menandai Fathah, Kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan
warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung
dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan
tanda titik dua horizontal seperti ‘adzabun alim’ dan membubuhkan tanda titik
dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti ‘ghafurrur rahim’.
Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk
membedakan huruf-huruf yang sama
karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang
gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah
(40-9 5 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kas
rah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah Al-Khalil
bin Ahmadal-Farahidy(W.170H) pada abad ke II H.
Kemudian pada
masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca
dan menghafal Al-Qur’an khususnya bagi orang selain Arab
dengan menciptakan
tanda-tanda baca tajwid yang
berupa Isymam, Rum, dan Mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat
sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti
membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap
surah yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah Tajzi’ yaitu tanda
pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz
dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi
yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh,setengah juz dan juz itu
sendiri.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al-Qur’an disalin dan
diperbanyak dari Mushaf Utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan
ini berlangsung sampai abad ke16 M.
Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah
Al-Qur’an untuk pertama kali di Hamburg,Jerman pada tahun 1694M.
Naskahtersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca.
Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah
umat Islam memperbanya mushaf Al-Qur’an.
Mushaf Al-Qur’an yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri
adalah mushaf edisi Malay Utsman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan
di St. Pitersburg Rusia.
Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan
pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838
dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman, Fluegel,menerbitkan
Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.Sayangnya,
terbitan Al-Qur’an yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung
cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang
digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an
dilakukan umat Islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para
Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al-Qur’an yang banyak dipergunakan di dunia
islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad
karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qira’at Ashim
riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/1925 M.
Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak
dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai
huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.
huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa
terdapat perbedaan atau perbandingan kodifikasi Al-Qur’an yang terjadi pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Utsman bin Affan. Perbedaanya
adalah pada penyebab atau alasan dan hasil dari kodifikasi Al-Qur’an tersebut.
Pada masa pemerintahan Khalifah Bau Bakar yang menjadi penyebab atau alasan
dilakukannya kodifikasi Al-Qur’an adalah usul yang berasal dari Umar bin Khatab
yang khawatir karena sahabat-sahabat penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur
dalam perang Yamamah. Umar bin Khatab kawatir nanti sudah tidak ada lagi orang
yang hafal Al-Qur’an karena pada perang tersebut sahabat yang hafal Al-Qur’an
gugur sebanyak tujuh puluh orang, dan sebelum perang Yamamah juga sudah banyak
sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam perang di sumur Ma’unah dekat Kota
Madinah pada zaman Nabi dan jumlahnya hampir menyamai sahabat yang gugur pada
perang Yamamah. Umar bin Khatab juga khawatir kalau sahabat yang pada saat itu
masih hidup juga mengalami hal serupa yang dialami oleh para sahabat yang hafal
Al-Qur’an yang gugur dimedan perang.
Hasil kodifikasi Al-Qur’an pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar
adalah berupa sebuah Mushaf yang disimpan di rumah Abu Bakar sampai beliau
wafat dan selanjutnya disimpan oleh Khalifah Umar bin Khatab yang merupakan
khalifah pengganti Abu Bakar. Dan setelah Umar wafat Mushaf itu disimpan oleh
Hafsah bin Umar yaitu anak dari Umar bin Khatab yang juga istri Nabi Muhammad
SAW.
Pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan yang menjadi penyebab
dilaksanakannya kodifikasi Al-Qur’an adalah karena adanya keragaman dalam cara pembacaan
Al-Qur’an (qira’at). Perbedaan itu karena pada masa pemerintahan Utsman terjadi
perluasan Islam sampai keluar Jazirah Arab sehingga Umat Islam tidak hanya
terdiri dari Bangsa Arab saja yang menyebabkan adanya perbedaan dialek (lahjah)
antar suku yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Utsman membuat kebijakan
yaitu membuat Mushaf standar (menyalin Mushaf yang dipegang oleh Hafsah) yang
ditulis dengan jenis penulisan baku .
Dan seluruh Mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diprintahkan
untuk dimusnahkan.
Hasil kodifikasi Al-Qur’an pada masa pemerintahan Utsman bin Affan adalah
Mushaf standar yang berjumlah enam buah Mushaf yang dikirim ke kota-kota besar
yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam, dan Yaman. Utsman menyimpan sendiri sebuah
Mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf
Al-Imam.
Manfaat kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan antara lain:
d.
Menyatukan Kaum Musliminn
pada satu macam Mushaf yang seragam tulisan dan ejaannya.
e.
Menyatukan bacaan, meskipun masih ada berlainan bacaan, tetapi bacaan itu
tidak berlawanan dengan Mushaf-Mushaf Utsman.
f.
Menyatukan tertib susunan Surat-Surat menurut urutan seperti Mushaf
sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Agama: 1971, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Jakarta : PT.
Bumi Restu.
Baidan, Nashruddin: 2003, Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia,
Solo: Tiga Serangkai.
Ichwan, Muhammad Nor: 2001,
Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang :
Lubuk Raya.
Baltaji, Muhammad: 2005,
Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc), Jakarta : Khalifa.
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus: 1989 M, Al-Qur'an, Sumber
Hukum Islam yang Pertama, Bandung :
Penerbit Pustaka.
Qardawi, Yusuf: 2003, Bagaimana
Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi), Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar.
Shihab, Muhammad Quraish: 1993, Membumikan
Al-Qur'an, Bandung: Mizan.
0 comments:
Post a Comment